Kebudayaan Tionghoa


Istilah Tionghoa dan Tiongkok berasal dari kata kata dari bahasa Kanton, yaitu salah satu bahasa Cina, dan artinya adalah orang Cina dan Negara Cina. Istilah ini selalu dipakai oleh masyarakat Tionghoa sebelum 1965. Akan tetapi pada tahun itu, di Bandung dalam pertemuan antara Jenderal penting dari ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) menghasilkan keputusan menggunakan istilah ‘Cina’ ketika menggambarkan masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, sehingga mengurangi atau menghapuskan perasaan ‘inferior’ dan ‘superior’.Oleh karena alasan ini yang melatarbelakangi pengunaan istilah ‘Cina’, masyarakat keturunan Tionghoa merasa istilah ini adalah hinaan dan akibatnya ketika bebicara tentang masyarakatnya mereka memakai istilah Tionghoa dan merasa dihina ketika istilah orang Cina atau Cina dipakai. 

Sejak saat itu ada banyak pernafsiran tentang pengunaan istilah Tionghoa dan pengunaan istilah Cina. Istilah Cina seharusnya bisa diterima oleh masyarakat Tionghoa sekarang, karena istilah ini seringkali dipakai masyarakat bukan Tionghoa dan tujuannya ketika digunakan tidak untuk menghina orang- orang yang keturunan. Istilah ‘Tionghoa’ dan ‘Cina’ ini masih dianggap sebagai hinaan dan masih kurang sopan.

Banyak dari kebijakan dan peraturan yang mengenai keturunan Tionghoa menyebabkan timbulnya batasan-batasan yang menahan perkembangan identitas kebudayaan Tionghoa. Bahkan sebelum penjajah Belanda menciptakan tiga kelompok etnik sosial yang memiliki peraturan peraturan yang berbeda sama satu lainnya, imigran Tionghoa yang sudah tiba di Indonesia dan memiliki derajat yang berbeda-beda, masih mencoba mempertahankan identitas etnis aslinya. Beberapa dari keturunan Tionghoa ini memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga dengan warga pribumi. Hal ini disebabkan karena di masa dinasti Ming (Qing) di Tiongkok, keturunan Tionghoa yang meninggalkan tanah airnya akan dilarang untuk kembali lagi ke daratan Tiongkok. Oleh karena itu mereka berusaha untuk menciptakan dan membangun keluarga baru di Indonesia. Kelompok tersebut menggunakan bahasa daerah di tempat tinggalnya sebagai bahasa sehari-hari, di lain pihak mereka masih menganut adat istiadat Tionghoa seperti berdoa menurut kepercayaan Tionghoa tradisional atau memperingati tahun Tionghoa baru (Imlek). 

Pada saat pengusaha-pengusaha Belanda membutuhkan pekerja-pekerja kasar atau ‘kuli’ untuk bekerja di perkebunan dan pertambangan, akan didatangkan orang orang keturunan Tionghoa yang berasal dari kelompok yang berbeda. Kelompok ini berbeda dari kelompok Peranakan Tionghoa karena kelompok ini akan diantarkan keluarganya ke Indonesia dan mereka akan mempertahankan ‘kemurnian’ keturunannya. Kelompok ini disebut ‘Totok’ Tionghoa. Dan kelompok ini tidak memiliki kesetiaan terhadap penjajah Belanda atau penduduk setempat, karena menurut mereka Indonesia hanya tempat sementara di mana mereka bisa mendapatkan dan mengirim cukup dana ke tanah airnya Tiongkok. Mereka merasa akan lebih baik jika mereka dapat kembali ke Tiongkok setelah mereka berhasil memperoleh apa yang mereka inginkan. Dapat diketahui bahwa Peranakan dan Totok masih ingin memelihara identitas Tionghoanya, yang terpisah dari orang Pribumi. Keputusan ini membuat mereka menjadi sumber kecurigaan bagi masyarakat Pribumi, selama dan sesudah perjuangan Kemerdekaan Indonesia dan periode periode selanjutnya. 

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada tahun 1907, pemerintah Belanda membagi kependudukan di Indonesia dalam tiga kelompok. Peranakan dan Totok Tionghoa berada pada kelompok yang dinamakan ‘Timur Asing’ atau ‘Eastern Orientals’. Kedudukan kelompok ini berada di antara kelompok orang-orang Pribumi dan kelompok warga negara Belanda yang menduduki posisi paling utama. Ini adalah usaha yang sengaja dilakukan oleh penjajah Belanda untuk mempertahankan keterpisahan masyarakat Tionghoa dan penduduk Pribumi yang disebut ‘Divide and Rule’. Hal ini disebabkan oleh adanya kekhawatiran jika masyarakat Tionghoa bersatu dengan orang Pribumi, sebab jika mereka bersatu mereka akan memiliki kekuatan untuk menentang penjajahan Belanda di Indonesia. Usaha ini dimaksudkan penjajah Belanda untuk memperburuk pandangan orang Pribumi terhadap keturunan Tionghoa. Salah satu contoh dari usaha tersebut adalah hak istemiwa terhadap keturunan Tionghoa seperti pendidikan dan kesempatan untuk menjadi warga negara Belanda, yang dapat menciptakan kesempatan kerja yang lebih baik. Keuntungan yang lain sebagai keturunan Tionghoa, khususnya kelompok Peranakan, memilih peluang bekerja untuk pemerintahan dan pengusaha Belanda sebagai perantara, karena sebagian dari mereka menguasai bahasa Belanda dan bahasa setempat. Akibat dari perbedaan status ini, penduduk setempat merasa adanya ketidakadilan yang membuat mereka iri dan marah. Jadi tidak hanya keinginan identitas terpisah saja yang menciptakan perasaan curiga di antara penduduk setempatk, tetapi juga, proses pemisahan dan timbulnya prasangka yang dengan sengaja diciptakan oleh penjajah Belanda. Perasaan inilah yang terbawa hingga saat ini. 

Kelompok Peranakan terbagi menjadi dua kelompok politik, kelompok pertama adalah Chung Hwa Hui (CHH) ini, mereka mendukung penjajah Belanda. Kelompok kedua adalah Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang mendukung Gerakan Kemerdekaan Indonesia. Beberapa tokoh dari partai ini berjuang bersama dengan tokoh tokoh lain bukan keturunan Tionghoa untuk kemerdekaan Indonesia. Namun Kenyataan ini sering dilupakan oleh masyarakat Indonesia dan Penulis sejarah. Pada sisi lain sebagian besar masyarakat Totok merasa hanya daratan Tiongkok yang bisa mewakili dan melindungi kepentingan merkeka, sehingga mereka tidak memiliki kesetiaan politik terhadap penjajah Belanda atau kependudukan setempat. Oleh karena itu keturunan Tionghoa dianggap tidak memiliki ketentuan politik, yang pada akhirnya menimbulkan kesan bahwa kesetiaan dan kesungguhan hati mereka terhadap Indonesia tidak bisa diandalkan. Terlebih lagi dengan adanya Gerakan Nasionalis Cina yang mempengaruhi kelompk Totok untuk lebih men-cina-kan diri lagi dari warga Pribumi pada masa sebelum penjajahan Jepang, yang memberi kesan kesetiaan masyarakat Tionghoa lebih besar terhadap Tiongkok daripada Indonesia. 

Metode ‘Divide and Rule’ terhadap keturunan Tionghoa terbawa terus sampai masa penjajahan Jepang pada periode Perang Dunia Kedua (PDII). Penjajah Jepang dengan sengaja memisahkan dan memaksa orang-orang keturunan Tionghoa untuk belajar di sekolah yang dibuat khusus untuk mereka, dan mereka diharuskan untuk menggunakan bahasa Mandarin dalam proses belajar mengajar, lebih dari itu mereka jugh diharapkan untuk berbahasa Mandarin di luar jam sekolah. Beberapa orang keturunan Tionghoa juga diperkerjakan oleh tentara Jepang sebagai seorang mata mata. Hal ini menyebabkan bertambahnya pandangan buruk terhadap Keturunan Tionghoa, karena mereka dianggap membantu penjajah Jepang yang tentu saja sangat dibenci karena perlakuan mereka yang sangat kejam terhadap masyarakat pribumi. Selain itu penduduk keturunan Tionghoa merasa bimbang dan mengalami kesulitan dalam menentukan masa depan mereka sedangkan beberapa dari mereka masih merasa seperti penduduk asing di Indonesia, walaupun mereka memiliki kehidupan di Indonesia. Dengan adanya penjajahan oleh Belanda dan Jepang, serta hubungan batin yang masih ada dengan Tiongkok, tetapi Indonesia juga, mereka tidak memiliki kepastian harus mendukung pihak yang mana walaupun Peranakan Tionghoa memiliki kebudayaan yang cenderung lebih mencerminkan Indonesia, kedudukan keturunan Tionghoa akan terombang ambing selama situasi Indonesia dan luar negeri yang berubah- ubah. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan timbulnya ketidaktentuan pilihan masyarakat Tionghoa di bidang politik. 

Mengingat adanya kejadian-kejadian tersebut, tidaklah mengherankan apabila pada periode saat ‘Dutch East Indies’ menjadi Republik Indonesia, Presiden dan wakilnya, Soekarno dan Hatta, tidak percayai bahwa masyarakat Tionghoa memiliki kesetiaan terhadap Republik Indonesia. Prasangka yang diakibatkan oleh kejadian bersejarah yang tersebut di atas juga dipengaruhi oleh peraturan yang dibuat oleh penjajah Belanda dan Jepang telah menyebabkan timbulnya perasaan tidak percaya terhadap keturunan Tionghoa selama Zaman ini. 

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Misalnya semua sekolah Tionghoa dilarang di Indonesia. Sejak saat itu semua anak Tionghoa Indonesia harus menerima pendidikan seperti anak orang Indonesia yang lain secara nasional. Bahkan pada jaman orde baru tersebut ada larangan menggunakan istilah atau nama Tionghoa untuk toko atau perusahaan, bahasa Tionghoa sama sekali dilarang untuk diajarkan dalam bentuk formal atau informal. Dampak dari kebijakan orde baru ini selama 30 tahun masyarakat Tionghoa Indonesia tidak dapat menikmati kebudayaabn mereka sebdiri. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia. 

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah. Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. 

Metode yang lebih khusus untuk memperbaiki hubungan buruk antara masyarakat Tionghoa dan bukan Tionghoa seharusnya lebih banyak orang keturunan Tionghoa yang masuk bidang yang lain daripada bidang ekonomi. Misalnya masuk bidang politik, birokrasi, ABRI (Angkatan bersenjata Rebpublik Indonesia) dan lembaga pemerintahan yang lain. Ini bisa membantu memperbaiki hubungan antara orang Tionghoa dan orang Indonesia yang lain, karena, ini akan membuat kontribusi masyarakat keturunan Tionghoa terhadap perbaikan kehidupan rakyat Indonesia, bangsanya, lebih nyata. Ini juga membantu masyarakat keturunan Tionghoa merasa bahwa mereka memiliki keterlibatan yang lebih banyak dalam mengontrol kehidupannya dan kehidupan Rakyatnya dalam pemerintahan. Akan tetapi supaya ini bisa terjadi, harus ada keinginan yang dimiliki kedua pihak, yaitu pada satu pihak keinginan masuk bidang bidang ini, dan pada pihak yang lain, keinginan memperbolehkan orang Tionghoa masuk bidang ini. 

Pada dasar yang sama, yaitu memberi kontribusi yang lebih nyata dan aktif, tokoh-tokoh yang lain dari masyarakat Tionghoa di Indonesia menganjurkan adanya langkah-langkah mereka sendiri yang berhubungan dengan keuangan dari perusahaannya. 

Reformasi yang digulirkan pada 1998 telah banyak menyebabkan perubahan bagi kehidupan warga Tionghoa di Indonesia. Mereka berupaya memasuki bidang-bidang yang selama 32 tahun tertutup bagi mereka. Kalangan pengusaha Tionghoa kini berusaha menghindari cara-cara kotor dalam berbisnis, walaupun itu tidak mudah karena mereka selalu menjadi sasaran penguasa dan birokrat. Mereka berusaha bermitra dengan pengusaha-pengusaha kecil non-Tionghoa. Walau belum 100% perubahan tersebut terjadi, namun hal ini sudah menunjukkan adanya tren perubahan pandangan pemerintah dan warga pribumi terhadap masyarakat Tionghoa. Bila pada masa Orde Baru aksara, budaya, ataupun atraksi Tionghoa dilarang dipertontonkan di depan publik, saat ini telah menjadi pemandangan umum hal tersebut dilakukan. Di Medan, Sumatera Utara, misalnya, adalah hal yang biasa ketika warga Tionghoa menggunakan bahasa Hokkien ataupun memajang aksara Tionghoa di toko atau rumahnya. Selain itu, pada Pemilu 2004 lalu, kandidat presiden dan wakil presiden Megawati-Wahid Hasyim menggunakan aksara Tionghoa dalam selebaran kampanyenya untuk menarik minat warga Tionghoa. 

Para pemimpin di era reformasi tampaknya lebih toleran dibandingkan pemimpin masa orde baru. Sejak masa pemerintahan B.J. Habibie melalui Instruksi Presiden tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non-Pribumi, seluruh aparatur pemerintahan telah pula diperintahkan untuk tidak lagi menggunakan istilah pribumi dan non-pribumi untuk membedakan penduduk keturunan Tionghoa dengan warga negara Indonesia pada umumnya. Kalaupun ada perbedaan, maka perbedaan itu hanyalah menunjuk pada adanya keragaman etinisitas saja, seperti etnis Jawa, Sunda, Batak, Arab, Cina dan lain sebagainya. Di masa pemerintahan Gusdur, yang melarang etnis Tionghoa merayakan pesta agama dan penggunaan huruf-huruf China dicabut. Selain itu juga ada Keppres yang dikeluarkan Presiden Abdurrahman Wahid memberi kebebasan ritual keagamaan, tradisi dan budaya kepada etnis Tionghoa; Imlek menjadi hari libur nasional berkat Keppres Presiden Megawati Soekarnoputri. Di bawah kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, agama Khonghucu diakui sebagai agama resmi dan sah. Pelbagai kalangan etnis Tionghoa mendirikan partai politik, LSM dan ormas. SBKRI tidak wajib lagi bagi WNI, walaupun ada oknum-oknum birokrat di jajaran imigrasi dan kelurahan yang masih berusaha memeras dengan meminta SBKRI saat orang Tionghoa ingin memperbaharui paspor dan KTP. 

Sebelum Orde Baru etnis Tionghoa aktif dalam bidang kesehatan dan pendidikan. Setelah 32 tahun ‘berdiam’ mereka kembali melakukan kegiatan sosial, aktif dalam bidang pendidikan. Bahasa Mandarin mulai diajarkan di berbagai sekolah sebagai bahasa alternatif di samping bahasa Inggris. Jadi mereka mulai berani memasuki bidang-bidang di luar bisnis semata. Mereka membuka diri dan memperdulikan lingkungan di sekitarnya. Merayakan ritual agama dan mempertontonkan ‘ke-cina-annya’. Filsafat kalangan etnis Tionghoa sekarang adalah ‘berakar di bumi tempat berpijak’, artinya (lahir dan) menetap di Indonesia selama-lamanya.

Rodiyah Nur Hayati

I'm Eko Rio Wibowo as Photographer, Traveler, Sleeper.Enjoy!
"Here I just want to work, not racing to create works that are forced. So I'll let the cameras, feeling, and my desire to play."

Related Posts:

No comments:

Post a Comment