
![]() |
Tarian Khas Orang Garifuna |
Penduduk Garifuna di Roatan adalah minoritas di kota Punta Gorda, yang tidak menikmati fasilitas infrastruktur yang penting bagi pariwisata. Penduduknya hanya menerima sebagian kecil dari keuntungan pariwisata. Orang Garifuna di Punta Gorda merasa bahwa budaya mereka dapat dan sedang digunakan sebagai atraksi turis. Sumber daya berharga yang menjadi hak orang Garifuna ini, yang seharusnya hanya boleh dikontrol oleh mereka, sekarang ini diatur oleh agen-agen lain. Ide tentang ‘memiliki’ sebuah budaya dan ‘menganggapnya sebagai properti kolektif’ bukanlah sesuatu yang baru dalam wacana akademik. Dalam konteks pariwisata, perhatian antropologi telah tertuju pada pandangan komoditisasi budaya. Greenwood berargumen bahwa meskipun pariwisata merupakan agen perubahan yang kadangkala ‘melahirkan respons kreatif di dalam budaya lokal,’ komodifikasi budaya ‘merampok orang-orang dari makna-makna yang dengan mana mereka mengorganisir kehidupannya.’ Selagi ada pandangan yang menganggap perkembangan turis sebagai sesuatu yang jahat, ada juga pandangan yang menganggap bahwa pariwisata telah membantu berbagai macam komunitas untuk bertahan dan memelihara tradisi-tradisi lokal. ‘Pariwisata etnik’, yakni ‘pemasaran atraksi turis yang berdasarkan pada cara hidup populasi pribumi,’ seringkali berkaitan erat dengan keberlangsungan budaya itu sendiri.

Terdapat argumen bahwa orang Garifuna adalah orang-orang yang ‘diciptakan oleh proses kolonialisme dan ekonomi dunia.’ Baik dalam konteks kolonialisme di masa lampau, atau migrasi di masa kini, Yang Lain telah memainkan peran vital dalam konstruksi komunitas Garifuna, dan keragaman identitas Garifuna tidak memungkinkan kita untuk melihat Garifuna hanya sebagai sebuah minoritas di dalam negara Honduras; mereka harus dilihat sebagai sebuah komunitas transnasional yang eksis di sepanjang negara bangsa Amerika Tengah. Karakter terpisah-pisah dari eksistensi Garifuna berakibat pada subjek-subjek yang sadar-diri dan sangat berbeda yang identitasnya diinformasikan oleh wacana-wacana global yang berkaitan dengan Diaspora Afrika. Anderson berargumen bahwa orang Garifuna identik dengan kehitaman dan budaya kulit Hitam, dan memahami diri mereka sebagai sesuatu yang lebih otentik jika dibandingkan dengan kelompok lain karena kemampuan mereka dalam memelihara bahasa dan kebiasaan unik mereka.
Dikarenakan keluarbiasaan dan keasliannya, klaim budaya Garifuna sebagai salah satu aspek paling menarik di Roatan sering terdengar di Punta Gorda. Melalui pernyataan seperti ini, orang Garifuna secara bersamaan mengenali dan mengkonstruksi arti penting dari modal budaya mereka dan keunikannya vis-a-vis mayoritas penurut bahasa Spanyol di Honduras dan juga komunitas Kreol berkulit hitam di Pulau Bay. Negara Honduras, sebagai gantinya, memperlakukan orang Garifuna sebagai ‘ populasi etnis berkulit hitam yang menambah warna multikulturalisme bangsa.’ Sejak tahun 1970an, budaya Garifuna telah memperoleh tempat utama di dalam matriks folklor nasional Honduras dan dipromosikan sebagai atraksi turis. Orang Garifuna memperoleh status eksotik yang menyiratkan pengakuan nasional, tetapi selalu pada basis representasi yang stereotipikal, dikomodifikasi, dan visual dari adat kebiasaan mereka. Folklor Garifuna secara umum digunakan sebagai konsumsi turis, tetapi partisipasi langsung untuk para agen yang masih dipandang oleh negara sebagai terlalu ‘primitif’ dan dengan demikian ‘tidak mampu’ untuk berpartisipasi secara penuh di dalam dunia modern.
Penduduk Pulau Bay secara umum memandang diri mereka sendiri sebagai sebuah kolektivitas yang unik di dalam bangsa. Orang Garifuna ingin memelihara dan mengatur sendiri budaya mereka tidak hanya sebagai orang Garifuna, namun juga sebagai penduduk Pulau Bay yang menolak integrasi total dengan penutur bahasa Spanyol ‘Yang Lain.’ Pandangan terhadap budaya Garifuna – seperti juga orang Garifuna sendiri – lebih baik tidak dilihat sebagai sebuah entitas yang homogen atau di-homogen-isasi, namun sebagai suatu konsep yang mendiami ruang fisik dan ideologis ganda, menghasilkan sejumlah pengalaman subjektif yang dilembagakan dalam hubungan dengan lebih dari satu komunitas yang kadangkala tampil sebagai Yang Lain.
Kajian ini akan memeriksa perspektif orang Garifuna dan kaitannya dengan representasi kolektif dari kepemilikan budaya dan komodifikasi ruang turis, dan penampilan yang otentik atau relatif tidak otentik. Argumen utamanya adalah bahwa bentuk-bentuk penampilan budaya mematuhi aturan-aturan kepemilikan dan bisa dibandingkan dengan artefak-artefak budaya, terlepas dari sifat tak berwujud dan karakter cair mereka. Penampilan dapat dikonsumsi dan ‘dijual,’ diatur, dihasilkan, dan dimiliki dengan cara yang mirip dengan objek-objek material. Budaya Barat yang berhasrat untuk mengkonsumsi Suatu Yang Lain dan mencari pengalaman ‘otentik’ telah merampas budaya orang Garifuna dengan cara menunjuk pengusaha-pengusaha yang lebih terampil untuk mengatur sumber daya penduduk pribumi.
Orang Garifuna di Punta Gorda bangga dengan ‘kemurnian’ komunitas mereka. Kualitas Garifuna dari Punta Gorda inilah yang membedakan kota ini dari komunitas-komunitas lain di Pulau Bay. Nenek moyang orang Garifuna berasal dari perkawinan campuran antara orang Afrika kulit hitam dan orang Indian Carib di Pulau Saint Vincent. Setelah perjuangan panjang melawan kekuatan kolonial Perancis dan Inggris, orang Garifuna yang bertahan (orang Carib kulit hitam) dikembalikan oleh orang Inggris ke Roatan pada tahun 1797. Dari sana mereka menyebar di sepanjang Pantai Timur Amerika Tengah, menyebar dari Honduras ke Guatemala dan Belize di utara, dan menuju ke daerah pesisir Miskitu di garis pantai Atlantik di timur. Orang Garifuna di Punta Gorda, Roatan, yang sadar dengan peran unik dari pulau mereka di dalam etnohistori Garifuna, seringkali – meskipun tak selalu – melacak asal mula identitas etnik mereka sampai ke pulau Saint Vincent di Karibia, dan hampir selalu melukiskan pemukiman Garifuna di Roatan sebagai pemukiman paling awal di pulau tersebut.
Penduduk Pulau Bay secara tradisional menganggap diri mereka berbeda dari orang Honduras di tanah daratan, dengan menonjolkan perbedaan bahasa dan perbedaan lainnya dari imigran penutur bahasa Spanyol. Meskipun kelihatan bersatu, terdapat perbedaan antara penduduk pulau yang berkulit ‘Hitam’ dan ‘Putih,’ sebagaimana juga perbedaan antara orang Kreol kulit hitam dan orang Garifuna. Semua perbedaan digunakan secara strategis di dalam percakapan sehari-hari. Meskipun komunitas Garifuna di Punta Gorda mengidentifikasi diri mereka sebagai orang kulit hitam, mereka menganggap bahwa diri mereka lebih ‘otentik’ daripada orang Kreol kulit hitam, yang secara lokal dirujuk sebagai ‘Orang inggris.’ Orang Kreol kulit hitam ini secara umum dipandang oleh orang Garifuna sebagai keturunan para budak, yang mana berlawanan dengan jati diri mereka sebagai – menurut narasi lokal – kaum yang selalu bebas, keturunan dari para pejuang hebat. Seperti ‘orang Inggris,’ kebanyakan orang Garifuna dari generasi yang lebih tua dapat berkomunikasi secara bebas dalam bahasa Inggris: mereka memahami bahasa Inggris versi Amerika Utara yang diucapkan para turis, namun lebih suka menjawab dengan idiom lokal bahasa Inggris Kreol. Orang Garifuna di Roatan juga menguasai bahasa Spanyol dan bahasa lokal mereka sendiri.
Sekarang ini, bahasa Spanyol – yang menjadi bahasa resmi di Pulau Bay sejak tahun 1872 – telah menjadi sangat populer di kalangan muda. Salah satu alasan menurunnya popularitas bahasa Inggris di Punta Gorda adalah mungkin karena penduduknya tidak melakukan kontak harian dengan dunia yang berbicara Bahasa Inggris, seperti misalnya orang Miskitu di Pearl Lagoon di Nikaragua, yang terus berbicara Bahasa Inggris dan secara konstan memperkenalkan kata-kata Inggris ke dalam bahasa Miskitu. Anak-anak Garifuna di Punta Gorda kini hanya mengerti sedikit Bahasa Inggris dan hal ini mencemaskan para tetua yang, merefleksikan identitas mereka sebagai penduduk Pulau Bay dan orang Garifuna, memandang bahasa Inggris tidak hanya sebagai warisan mereka namun juga sebagai aset untuk ketelibatan komunitas dalam turisme.
Tidak seperti kota-kota yang lain, Punta Gorda tetap mempertahankan komposisi etnik yang relatif homogen, dan dengan demikian menjadi ‘situs organik bagi reproduksi budaya dan identitas Garifuna.’ Hidup dalam kemiskinan dengan harga diri, penduduk Punta Gorda telah meloloskan diri dari ‘penyakit migrasi orang Spanyol’ dan efek tak terkontrol dari perkembangan turis terhadap lingkungan sosial dan fisik. Mereka memahami kota mereka sebagai tempat yang aman untuk ditinggali, dimana kontak sehari-hari tidak tercerabut dari karakter manusia pribadinya.
Sikap negatif orang Garifuna terhadap populasi penutur bahasa Spanyol mencerminkan sebuah perasaan yang jamak ditemukan di antara penduduk Pulau Bay. Karakteristik seperti ini juga dapat ditemukan di kelompok etnik minoritas lain di wilayah yang lebih luas. Orang Garifuna di Roatan, seperti tetangga Kreol mereka, mengeluh bahwa para pendatang baru penutur bahasa Spanyol ini tidak berbicara atau mengerti bahasa Inggris, mengasingkan para turis, dan merampas peluang kerja mereka.
Sumber pendapatan yang penting bagi Punta Gorda dan juga komunitas Garifuna di manapun adalah kiriman uang dari orang Garifuna yang telah bermigrasi ke AS. Ada argumen bahwa pola migrasi Garifuna telah dimulai sejak tahun 1800an dan turut serta dalam membangun ‘jaringan kekerabatan dan pertukaran transnasional yang penting bagi pembentukan dan penampilan identitas Garifuna.’
‘Mereka Merampas Budaya Kami’ – benarkah?
Harapan komunitas untuk menarik perhatian beberapa turis agar mengunjungi pulau mereka mengindikasikan bahwa bagi orang Garifuna di Punta Gorda, isu utamanya bukanlah tentang pembeberan budaya mereka, tetapi di mana pembeberan ini mengambil tempat, mengapa dan siapa yang mengambil untung darinya. Orang Garifuna dengan senang hati ‘mengkomoditisasi budaya mereka untuk mendapat untung,’ namun mereka berharap bahwa komoditisasi ini tetap berada di bawah kontrol mereka. Apapun keuntungan yang datang darinya – menurut persepsi kepemilikan budaya mereka – harus dinikmati terutama oleh mereka sendiri. Untuk alasan inilah maka beberapa individu berargumen bahwa budaya Garifuna tidak seharusnya ‘dijual.’ Siapapun yang ingin mengetahui tentang cara hidup Garifuna harus datang ke Punta Gorda. Inilah bagaimana cara penduduk lokal merasa bahwa mereka secara langsung maupun tidak langsung memperoleh keuntungan.
Komunitas Garifuna mulai diiklankan sebagai tambahan potensial bagi sebuah ethnos multikultural yang atraktif bagi para turis. Perubahan dari sebuah budaya hidup menjadi sebuah atraksi turis berarti bahwa orang Garifuna tidak pernah bisa meloloskan diri dari gambaran stereotipikal tentang Yang Lain yang eksotik di dalam negara yang sebagian besar penduduknya berbicara bahasa Spanyol dan, yang lebih penting, tidak memperbolehkan partisipasi secara penuh di dalam industri turis sebagai agen-agen.
Penduduk Punta Gorda, dengan identifikasi mereka sebagai orang Garifuna dan penduduk Pulau Bay, sadar akan keunikan mereka dan beban yang dibawanya dalam lingkup sosio-ekonomi turisme. Mereka meminta agar para turis yang mengunjungi Punta Gorda tidak hanya sekadar untuk mengejar keuntungan material, namun juga mempertimbangkan partisipasi di dalam industri turis sebagai cara untuk mempromosikan sebuah budaya yang dipersonalisasi. Orang Garifuna merasa budaya mereka dirampas karena apa yang ditawarkan untuk konsumsi turis saat ini adalah gambaran tak bernyawa tentang sebuah budaya yang para aktornya ditolak partisipasinya di dalam representasinya, maksudnya, kemampuan untuk mengontrol bentuk yang diambil identitas mereka di dalam kesadaran Yang Lain sebagai turis. Orang Garifuna adalah ‘kelompok etnik modern transnasional,’ ‘sadar akan tempat mereka dalam ekonomi global.’ Mereka ingin menggeser lampu sorot turis ke diri mereks sendiri dan ke wacana-wacana mereka daripada secara sederhana menjual versi komodifikasi yang tervisualisasi dan tercetak dari adat kebiasaan dan bahasa mereka.
Menari “punta” untuk Turis
Ritme punta adalah bagian dari tradisi musik yang dibanggakan orang Garifuna. Namun penduduk Garifuna di Punta Gorda tidak menari punta untuk kesenangan mereka, melainkan untuk kesenangan turis. Orang Garifuna menerima bayaran dari pemilik tempat hiburan dan juga tips dari turis, namun semua setuju bahwa bayaran yang mereka terima tidaklah memuaskan. Kegiatan ‘menari’ untuk turis ini telah berlangsung sejak 20 tahun yang lalu dan sejak saat itu komposisi kelompok dan detail lainnya telah mengalami standardisasi secara signifikan. Punta telah disesuaikan dengan selera orang Barat. Namun kritik yang paling utama dari tarian punta yang berorientasi turis ini adalah fakta bahwa acara-acara tersebut diorganisir oleh orang non-Garifuna.
Fokus penduduk pribumi pada keuntungan potensial bagi komunitas tidak boleh disalah artikan sebagai retorika berorientasi profit. Orang Garifuna ingin mengontrol makna punta dengan secara aktif mengarahkan ‘bentuk, kegunaan, dan jalurnya.’ Mereka mengklaim hak kepemilikan atas pertunjukan tari tradisional mereka karena tarian itu adalah corak budaya mereka sendiri. Clifford, terinspirasi oleh Mary Louise Pratt, mempunyai ide untuk mengubah museum dari kumpulan koleksi menjadi zona kontak (ruang di mana zona kontak terjadi, dibandingkan dengan hanya sekadar ‘konsumsi visual’ sesuatu yang eksotik, dari apa yang harus ditawarkan oleh batas luar ke pusat).
Kesimpulan
Pencarian yang Lain, yang otentik, secara budaya berbeda, yang eksotik, adalah corak-corak pariwisata yang tak tergantikan. Pencarian turis akan otentisitas, seringkali dikombinasikan dengan kebutuhan dari turis untuk ‘menempatkan Yang Lain.’ Pertunjukan punta menawarkan kepada turis peluang untuk mengkonsumsi Sesuatu yang Lain. Kurangnya infrastruktur di Punta Gorda membuat jasa pelayanan turis dikontrol oleh agen-agen non-pribumi. Tidak seperti orang Indian Kuna di Panama, orang Garifuna di Roatan tidak berhasil dalam mengembangkan bentuk pariwisata etnik yang berkelanjutan. Oleh karenanya, orang Garifuna di Punta Gorda terus-menerus menyampaikan kebutuhan akan ‘peningkatan pembelanjaan yang langsung diarahkan ke penduduk lokal.’ Mereka rela menampilkan diri mereka sebagai Yang Lain yang bisa dikonsumsi dan dikomodifikasi, namun bukan sebagai agen luar. Selain keuntungan materi, mereka lebih mementingkan fakta ‘komersialisasi seni penduduk pribumi’ sebagai tempat di mana ‘kesukuan bisa dimanipulasi.’ Orang Garifuna menganggap pariwisata sebagai peluang untuk menetapkan ulang dan mengkomunikasikan keunikan budaya dan identitas mereka secara bersamaan ke lebih dari satu etnik Yang Lain dan menolak fakta bahwa, di masa kini, potensi dialog inter-kultural seperti itu telah hilang.
Orang Garifuna di Punta Gorda, dengan kemampuan dan pengetahuan lokal mereka, berusaha keras untuk terlibat secara langsung di dalam pembangunan pariwisata dan mengizinkan budaya mereka menjadi ‘esensi atraksi.’ Memperkirakan akibat negatif dan positif dari ‘praktek pengumpulan budaya’ orang Barat yang mungkin diterima oleh komunitas mereka, mereka terlibat dalam proses objektifikasi budaya yang rumit demi kepentingan para pengujung. Mereka menyoroti pentingnya pembangunan pariwisata pribumi, menyadari bahwa tempat bisa dikonsumsi seperti halnya juga budaya. Mereka ingin memaksimalkan keuntungan dari komodifikasi budaya mereka dan memotong perantara yang dirasa tidak memberikan apa-apa kepada ‘orang Garifuna.’
Punta Gorda ingin mengarahkan kembali pandangan turis ke dirinya dan kemudian mengontrolnya. Kapanpun komunitas terlibat dalam beberapa bentuk pertunjukan atau penampilan budaya, ia menyampaikan pernyataan tentang identitasnya ke pemirsa dan anggotanya sendiri. Frase ‘mereka sedang merampas budaya kami’ yang begitu sering diulang oleh penduduk Punta Gorda berkaitan dengan kurangnya kontrol terhadap apa yang orang-orang ini rasakan sebagai properti kultural milik mereka.
Pada kasus orang Garifuna ini, terlihat suatu fenomena yang sangat unik, yakni betapa telah berkuasanya sistem kapitalisme di seluruh dunia, sampai-sampai telah menyebar ke dalam masyarakat Garifuna juga. Kasus pertama adalah komodifikasi budaya yang mereka alami, dimana konsumen budaya adalah raja bagi produsen, dan hal ini telah dijelaskan secara singkat di atas. Kasus kedua nyata-nyata lebih menarik lagi, yakni bagaimana orang Garifuna terlihat menerima dengan ikhlas fakta bahwa budaya mereka telah dikomodifikasi. Mereka marah bukan karena budaya mereka dirampas dan dijual oleh orang asing, melainkan karena mereka sendiri tidak mampu bertindak sebagai “sang penjual” tersebut. Tarian sakral tidak lagi dimaknai sedemikian adanya, namun hanya dipandang sebagai salah satu komoditi yang berpotensi laku di pasaran. Jika pelakunya adalah orang luar, hal ini masih dapat dimengerti, akan tetapi jika pelakunya adalah masyarakat praktisi kebudayaa itu sendiri – yang sekali waktu pernah mengagung-agungkan kebudayaan tersebut – maka kita dapat menyimpulkan bahwa sistem kapitalisme telah menjadi candu yang lebih buruk dari agama. Tanpa agama, orang masih bisa menjalani kehidupannya. Akan tetapi, tanpa sistem kapitalisme, kebutuhan paling mendasar seorang individu terancam tak akan terpenuhi.
Karl Marx
Bagi Marx, uang adalah setiap komoditi yang berfungsi sebagai suatu ukuran nilai, dan oleh karena itu juga sebagai medium peredaran, dalam badannya sendiri ataupun melalui suatu perwakilan. Dipandang secara kualitatif ataupun secara formal, uang adalah perwakilan universal dari kekayaan material yang bebas dari semua batasan karena ia secara langsung dapat diubah menjadi sesuatu komoditi lain. Kontradiksi antara keterbatasan kuantitatif dan ketakterbatasan kualitatif uang, yang mana dikarenakan setiap jumlah uang aktual terbatas jumlahnya, mendorong terciptanya akumulasi.
Fluktuasi-fluktuasi yang terus-menerus di dalam peredaran komoditi dan harga-harga mereka menyebabkan kuantitas uang dalam peredaran tiada henti-hentinya pasang surut. Agar massa uang yang sungguh-sungguh dalam peredaran dapat selalu sesuai dengan tingkat daya serap lingkungan peredaran, maka jumlah emas dan perak di suatu negeri harus lebih besar daripada yang dituntut untuk berfungsi sebagai mata uang. Cadangan yang diciptakan oleh penimbunan ini berlaku sebagai saluran bagi uang untuk mengalir masuk dan keluar dari peredaran, sehingga peredaran itu sendiri tidak pernah membanjiri pinggirannya. Dari argumen ini, terlihat bahwa Marx tidak setuju dengan sistem mata uang yang “mengalir bebas”, yang tak dijamin oleh cadangan emas apapun.
Uang dunia berfungsi sebagai alat pembayaran universal, sebagai alat pembelian universal, dan sebagai perwujudan mutlak kekayaan masyarakat itu sendiri. Fungsinya yang dominan adalah sebagai alat pembayaran dalam penyelesaian neraca-neraca internasional. Uang dunia berlaku sebagai perwujudan kekayaan masyarakat yang diakui secara universal, setiap kali ia bukan suatu masalah pembelian atau pembayaran, melainkan pemindahan kekayaan dari satu negeri ke negeri lain, dan kapan saja pemindahannya dalam bentuk komoditi tidak dimungkinkan oleh konjungtur pasar, maupun oleh tujuan transfer itu sendiri.
Fungsi-fungsi penimbunan lahir dari fungsi uang sebagai alat pembayaran dan peredaran dalam negeri, dan sebagian lagi karena fungsinya sebagai mata uang dunia. Dalam peranannya yang terakhir ini adalah selalu komoditi uang sejati, emas dan perak dalam bentuk ragawi mereka, yang diperlukan. Peran sebagai mata uang dunia ini hanya bisa dimainkan oleh emas dan perak selaku logam mulia, yang memiliki nilai intrinsik yang berharga di dalam dirinya sendiri. Jadi, mata uang dollar misalnya, yang tidak memiliki nilai intrinsik yang berharga di dalam dirinya sendiri, sebenarnya tidaklah cocok untuk dijadikan sebagai mata uang dunia. Uang diistilahkan sebagai lemak di dalam badan negara. Jika terlalu banyak, maka akan menghalangi kelincahan. Jika terlalu sedikit, maka akan membuat badan menjadi sakit. Lemak yang berfungsi untuk meminyaki gerak otot-otot, memberi makan pada yang kekurangan, dan memperindah tubuh, sama dengan fungsi uang sebagai kredit dengan bunga, untuk menyelesaikan hutang-piutang, memberi makan dari luar negeri pada waktu kekurangan di dalam negeri, merubah diri menjadi barang-barang, atau untuk dikirim ke luar sebagai suatu komoditi, ke tempat-tempat yang memerlukannya atau menginginkannya.
Marx memandang bahwa di dalam interaksi-interaksi mereka dengan alam dan dengan para aktor lain, orang-orang memproduksi objek-objek yang mereka butuhkan untuk bertahan hidup. Ini yang disebut sebagai nilai-guna komoditas. Dalam sistem kapitalisme, para aktor bukannya memproduksi untuk dirinya atau asosiasi langsung mereka, melainkan untuk orang lain [kapitalis]. Ini disebut nilai-tukar komoditas, di mana produk-produk tidak digunakan langsung, tapi dipertukarkan di pasar demi uang atau demi objek-objek lain. Secara kualitatif, nilai-guna tiap objek berbeda satu sama lain. Dengan bantuan uang, perbedaan-perbedaan tersebut dapat dibandingkan secara kuantitatif. Nilai-tukar menjadi terpisah dari properti fisik komoditi.
Nilai-tukar komoditas cenderung melebihi penggunaannya yang aktual di dalam memenuhi kebutuhan manusia. Komoditas mulai tampak terpisah dari kerja manusia dan kebutuhan manusia dan pada akhirnya tampak menjadi berkuasa atas manusia. Marx menyebutnya sebagai fetisisme komoditas. Fetisisme ini merupakan suatu bentuk reifikasi yang malahan sanggup mempengaruhi sistem ekonomi yang mulai terlihat seperti kekuatan objektif dan nonpolitis yang menentukan kehidupan manusia. Aktivitas kerja yang membuat kita benar-benar merasa sebagai manusia telah diubah menjadi suatu komoditas yang diperjualbelikan di pasar. Kerja yang kita lakukan memperoleh nilai-tukar yang terpisah diri kita. Oleh karenanya, komoditas merupakan sumber alienasi bagi manusia. Nilai kerja yang merepresentasikan relasi-relasi sosial manusia berubah menjadi suatu relasi antar benda. Komoditas menjadi sesuatu yang misterius, yang di dalamnya karakter sosial dari kerja seseorang akan dilihat sebagai karakter objektif yang tercap pada produk kerja tersebut, karena relasi para produser dengan seluruh kerja mereka dihadirkan kepada mereka sebagai sebuah relasi sosial. Ini adalah sebuah relasi yang tidak eksis di antara mereka, melainkan di antara produk-produk kerja mereka itu sendiri. Melalui proses pertukaran uang kita dengan suatu komoditas, kita telah masuk ke dalam relasi sosial di antara ratusan orang yang terlibat dalam pembuatan komoditas tersebut. Fetisisme komoditas ini berada di luar aktor dan bersifat memaksa terhadapnya. Keadaan ini persis seperti pendapat Simmel tentang pengaruh uang pada masyarakat modern.
Inti masyarakat kapitalis dapat ditemukan dalam komoditas. Istilah kapital sendiri dapat diartikan sebagai uang yang menghasilkan lebih banyak uang. Uang hanya akan menjadi kapital karena adanya relasi sosial antara proletariat yang bekerja dan harus membeli produk dengan orang yang menginvestasikan uangnya. Namun, kapital tidak bisa meningkat secara “alamiah”, kecuali dengan mengeksploitasi orang-orang yang bekerja secara aktual. Sistem kapitalis adalah struktur sosial yang muncul dari dasar hubungan eksploitatif tersebut. Hal yang unik di dalam kapitalisme adalah bahwa eksploitasi dilakukan oleh sistem ekonomi yang impersonal dan “objektif”. Contohnya adalah kasus yang ditemukan Barbara Ehrenreich di dalam iklan lowongan kerja yang berupah rendah yang dipasang oleh perusahaan. Dalam istilah Marx, ini disebut sebagai “tentara cadangan” dari pengangguran. Nilai-surplus yang menjadi keuntungan kapitalis dapat diubah menjadi modal yang akan menghasilkan nilai-surplus yang lebih banyak lagi. Ini menciptakan hukum umum akumulasi kapitalis, di mana kapitalis berusaha mengeksploitasi pekerja semaksimal mungkin. Struktur dan etos kapitalisme mendorong kapitalis dalam mengarahkan akumulasi pada penumpukan kapital yang lebih banyak lagi. Inilah dasar logika dari keseluruhan sistem kapitalisme.
No comments:
Post a Comment